April 27, 2025

Jakarta – BUSERBHAYANGKARA.TV.COM

Pada Debat Capres Pertama 12 Desember 2023 malam, di salah satu sesi tanya-jawab antar Capres, Paslon nomor 3 bertanya pada Paslon Nomor 1 menyangkut setuju tidaknya IKN dilanjutkan. Atas jawaban tersebut. Anies Baswedan mengatakan bahwa inilah salah satu contoh yang tidak melewati dialog publik yang lengkap, sehingga dialognya terjadi setelah jadi undang-undang. dan Ketika dialognya sudah jadi undang-undang, siapapun yang kriitis dianggap oposisi, dan siapapun yang pro dianggap pro pemerintah. Kenapa? Karena tidak ada proses pembahasan yang konprehensif yang memberikan ruang kepada publik. Ini negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Dan negara hukum berikan ruang kepada publik untuk membahas sebuah peraturan sebelum ditetapkan. Tetapi ini, nada-nadanya seperti negara kekuasaan, dimana penguasa menentukan hukum, kemudian dari situ kita berdebat pro kon.

Atas jawaban Anies tersebut, Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA), Joe Marbun menyampaikan bahwa sesungguhnya Anies Baswedan Hanya OMDO atau Omong Doang. Anies justru telah menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya yaitu intelektual yang tidak mampu mewujudkan kata-katanya ke dalam tindakan nyata. Hal ini terbukti selama memimpin pemerintahan di DKI Jakarta justru pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekuasaan ketimbang pendekatan dialog maupun pendekatan hukum.

Lebih lanjut Marbun memaparkan bukti bahwa ketika terjadi Revitalisasi TIM, Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta (Pergub DKI) Nomor 63 tahun 2019 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta – Propertindo (Perseroan Daerah) untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki yang ditetapkan tanggal 02 Juli 2019. Penugasan tersebut ditindaklanjuti dengan kegiatan pemagaran kompleks Taman Ismail Marzuki dan dilakukan proses penghancuran bangunan Grha Bakti Budaya (GBB) dan memutilasi sebagian bagunan Planetarium yang telah diusulkan sebagai Bangunan Cagar Budaya. Tindakan tersebut justru diduga telah melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Marbun mengungkapkan bahwa penetapan revitalisasi TIM dan penunjukan Jakpro sebagai pengelola TIM selama 28 tahun tersebut sama sekali tidak melibatkan komunitas Seniman di Taman Ismail Marzuki. Ketika itu, Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP TIM) menolak revitalisasi TIM sebab pembangunan tersebut bertentangan dengan kehendak seniman. Seniman mengadukan tersebut ke berbagai pihak diantaranya ke Ketua DPRD DKI Jakarta, H. Prasetyo Edi Marsudi, S.H dari PDIP dan juga mendatangi komisi X DPR RI yang di pimpin oleh Ketua Komisi X, H. Syaiful Huda dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tanggal 17 Februari 2020. Akhirnya aksi penolakan seniman yang tergabung dalam FSP TIM tersebut direspon dengan dilakukannya moratorium Revitalisasi TIM pada 4 Maret 2020, selama kurang lebih 2 bulan.

Permasalahan berlanjut ke masalah pengelolaan TIM yang tetap diserahkan kepada Jakpro yang tidak memiliki DNA kesenian, tanpa melibatkan seniman untuk berdialog mengenai pengelolaan TIM. Sikap tersebut berlangsung sampai dengan berakhirnya masa jabatan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini berbeda dengan semangat awal didirikannya PKJ TIM pada tahun 1968, dimana Gubernur Ali Sadikin justru menyerahkan kebijakan pengelolaan TIM kepada seniman melalui Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). “Bahkan sampai dengan hari ini Revitalisasi TIM masih menimbulkan beberapa permasalahan yaitu pengelolaan TIM masih ditangani Jakpro, keberadaan gedung yang dibangun tidak ramah pertunjukan seni, dan bahkan saat ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI telah memutuskan adanya kolusi atau persekongkolan pengadaan tender dalam pembangunan Revitalisasi TIM yang dikelola oelh PT Jakpro” ujar Joe Marbun yang juga terlibat aktif di FSP TIM sampai dengan saat ini.

Jadi pernyataan Anies Baswedan yang menyebutkan bahwa diperlukannya dialog komprehensif sebelum ditetapkannya peraturan perundang-undangan dalam pembangunan IKN hanya imajinasi semu dan justru berpotensi membuat janji palsu dan mengelabui rakyat. Selain itu, tindakan Anies selama menjadi Gubernur DKI justru menunjukkan karakter dirinya yang lebih menggunakan pendekatan kekuasaan dibanding pendekatan dialog maupun hukum. Karena faktanya, tindakan beliau semasa jadi Gubernur DKI tidak mencerminkan apa yang disampaikannya.

Kasus Revitalisasi TIM, bukanlah yang pertama. Kasus lain seperti Revitalisasi Monas untuk kepentingan gelaran Formula E, sama sekali tidak melibatkan dialog publik maupun para pelestari warisan budaya. Tiba-tiba saja Anies Baswedan memerintahkan timnya dan menebangi pohon-pohon di kawasan Monas yang berfungsi untuk penghijauan kota. “Reaksi keras muncul dari kalangan arkeolog, pegiat pelestari cagar budaya dan aktivis lainnya sebab, Monas merupakan Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan dengan SK Gubernur DKI Nomor 475 Tahun 1993 dan Penetapan Cagar Budaya No. PM.13./PW.007/MKP/05 yang mana penataan kawasan Monas harus menggunakan strategi pelestarian kawasan cagar budaya.” Ungkap Joe Marbun.

Terakhir, kasus reklamasi. Dimana saat janji kampanye dihadapan rakyat Jakarta tidak akan melanjutkan reklamasi, namun kenyataannya setelah jadi Gubernur DKI, Anies Baswedan melanjutkan proyek reklamasi, Ini merupakan bentuk kebohongan beliau pada rakyat Jakarta. Pungkas Joe Marbun.(Rel)

Salam Budaya,

Joe Marbun, S.S., M.A
Arkeolog, Praktisi Kebijakan Kebudayaan, Koordinator MADYA (Masyarakat Advokasi Warisan Budaya)
Kontak 0813 2842 3630

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *