Oktober 1, 2025

Siantar, BuserBhayangkaraTv.com

Di akhir tahun2022, kabar jerat hukum kepada masyarakat yang berupaya mempertahankan ruang hidup mereka kembali muncul, Konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia terus terjadi dan yang teranyar kembali terjadi di Kampung baru, kel Gurilla kota Pematangsiantar Provinsi Sumatera Utara.


Secara gamblang kronologi munculnya konflik bermula dari klaim yang dilakukan oleh pihak PTPN III Pematangsiantar atas lahan seluas 126.56 ha berada di pemukiman penduduk yang berkisar sebanyak kurang lebih 200 kk dengan dasar hak dari HGU No 1/Pematangsiantar.


Sedangkan Masyarakat Gurilla juga memiliki hak atas tanah tersebut dengan dasar penguasaan tanah selama 18 tahun sejak 2004 yang mana menurut pasal 27 UUPA bahwa hapusnya Hak atas penggunaan tanah atau HGU itu karena adanya penelantaran dari pemegang hak, lebih lanjut masyarakat juga mendapat dukungan/pernyataan dari stakeholder pemerintah kota Pematangsiantar tentang lahan yang mereka duduki diantaranya pernyataan-pernyataan yang tertuang dalam SK Walikota Pematangsiantar pada tahun 96,98 dan 2004.

Sedikit dari sekian banyaknya dasar yang jadi pegangan masyarakat gurilla ini yang menguatkan mereka untuk tetap mempertahankan tanahnya dari gempuran perampasan tiba-tiba yang dilakukan oleh pihak PTPN III dengan menggunakan dalih “OKUPASI” yang faktanya hal itu merupakan Perampasan Lahan.


Dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan/dilaksanakan semenjak bulan Oktober lalu ini telah meninggalkan kesan buruk yang membekas di hati masyarakat, mulai dari mereka di intimidasi sampai dikriminalisasi sudah menjadi hal yg selalu dialami mereka yang diindikasikan dilakukan oleh pihak PTPN III.

Hampir saban hari mereka diperhadapkan dengan pihak keamanan PTPN III bersama pihak TNI-POLRI dan tidak jarang pula bentrokan-bentrokan fisik kerap terjadi.
Dan baru-baru ini terjadi lagi hal yang juga disayangkan yaitu pihak PTPN III kembali pada tanggal 17 desember lalu dengan melakukan aktivitas pada malam hari di rumah ibadah masjid dengan membawa peralatan keamanan lengkap, sehingga secara spontan masyarakat yang merasa terintimidasi mencoba untuk mempertanyakan keberadaan mereka karena tiba-tiba pasca kedatangan pihak keamanan itu listrik di kampung Gurilla padam dan diindikasikan adalah ulah PTPN III sehingga menimbulkan kepanikan masyarakat.


Masyarakat kemudian mempertanyakan keberadaan mereka menduduki masjid tersebut namun malah memberi jawaban yang terkesan mengintimidasi sehingga memancing amarah warga dan terjadi perdebatan.


Ini bukan kali pertama, pada hari-hari sebelumnya kejadian yang sangat disayangkan ini kerap terjadi dan ini tidak dapat dibenarkan melihat aspek yang telah terbentuk dalam tatanan sosial masyarakat Gurilla ini menjadi ketakutan dan menjadi pertanyaan buat anak-anak kecil yang selalu khawatir dengan kondisi orang tua mereka yang terlibat konflik dengan pihak keamanan sehingga mengganggu psikologis beberapa anak yang terlihat takut dengan kehadiran pihak keamanan dan ini berimplikasi terhadap dunia pendidikan yang sedang mereka jalani.


Sampai hari ini belum ada prioritas penyelesaian permasalahan ini sehingga makin membuat konflik terus terakumulasi dan cukup riskan untuk menimbulkan konflik yang baru.


“Perlu adanya evaluasi terhadap langkah penyelesaian konflik yang akhir-akhir ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan khususnya di daerah Sumatra Utara, seperti di sibolangit, simalungun dan di beberapa daerah lagi. Dan hampir semua yang berkonflik itu berketerkaitan dengan ambisi percepatan Proyek Strategis Nasional yang menjadi salah satu alasan terjadinya lonjakan konflik”, ujar Dofasep Hutahaean ketua Eksekutif kota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Pematangsiantar.

Dia juga menyebutkan bahwa sektor penyumbang konflik tertinggi masih dipegang oleh perkebunan yang sering menyasar area pemukiman, wilayah padat penduduk hingga perkotaan yang beririsan dengan perusahaan perkebunan.

LMND kota Pematangsiantar Siantar kemudian bereaksi dengan memberikan kecaman terhadap tindakan yang dilakukan oleh pihak PTPN III tersebut dan meminta untuk mengedepankan langkah-langkah persuasif dalam menunggu proses-proses dan langkah hukum yang sedang dilakukan oleh masyarakat dan para pendampingnya.


Kemudian muncul stigma baru di masyarakat terkait dengan masyarakat gurilla yang sedang bersilang sengketa di kel Gurilla dengan mengkonotasikan masyarakat penggarap sebagai masyarakat ilegal.

dokumentasi ketika warga menduduki eskavator PTPN III saat hendak merusak lahan pertaniannya


Dan ini dirasa keliru, soal untuk tanah-tanah yang tidak difungsikan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan dan tidak diusahakan dengan baik sesuai dengan sifat, tujuan dan fungsi atas dasar penguasaannya dan hak yang diberikan negara harusnya telah dihapuskan dan diberikan pengalihannya kepada masyarakat penggarap.

Sebab pemberian hak oleh negara pada hakekatnya adalah kekuasaan yang menimbulkan hubungan hukum antar keduanya, yang artiannya pemberian hak juga diikuti kewajiban yang memang diperintahkan kepada pemeroleh hak dalam hal ini PTPN III. Dan dari kronologi yang ada serta penelantaran yang dilakukan sudah seharusnya Negara hadir dan mencabut hak yang telah diberikan, tutupnya.

Penulis : FP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *